Studi Kasus Masalah Penilaian (Guru Hanya Fokus Pada Penilaian Hasil (Sumatif), Bukan Proses (Formatif)

Pada kesempakan kali ini kami akan berbagi tentang Pembahasan Studi Kasus Reflektif Studi Kasus Masalah Penilaian (Guru Hanya Fokus Pada Penilaian Hasil (Sumatif), Bukan Proses (Formatif) yang Kami Contohkan Misalnya Pada Madrasah Aliyah Negeri 1 Lampung Timur.  Semoga Pembahasan ini Dapat membantu Bapak ibu dalam menjawab Soal Study Kasus Pada Uji Pengetahuan (UP) PPG DALJAB 2025

Studi Kasus Masalah Penilaian (Guru Hanya Fokus Pada Penilaian Hasil (Sumatif), Bukan Proses (Formatif)

1.         Mendiskripsikan Masalah/Kasus Nyata Yang Pernah Dialami Secara Mendetail Dan Sistematis

Kondisi yang Diharapkan (Seharusnya):

Dalam proses pembelajaran, penilaian seharusnya mencakup penilaian formatif dan sumatif secara seimbang. Penilaian formatif dilakukan selama proses pembelajaran untuk memantau perkembangan siswa, memberikan umpan balik, dan menyesuaikan strategi pengajaran agar sesuai dengan kebutuhan siswa. Penilaian sumatif digunakan untuk mengevaluasi hasil akhir pembelajaran. Di MAN 1 Lampung Timur, penilaian seharusnya membantu siswa kelas X memahami materi pelajaran, seperti mata pelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI) tentang akhlak mulia, dengan cara yang menyeluruh, mencakup aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik, sehingga siswa dapat menginternalisasi nilai-nilai akhlak dalam kehidupan sehari-hari.

 

Kondisi yang Terjadi:

Dalam praktik pembelajaran di kelas X MAN 1 Lampung Timur, saya mengamati bahwa penilaian yang dilakukan cenderung berfokus pada penilaian sumatif, seperti ujian tulis akhir semester atau kuis akhir bab. Guru hanya menilai hasil akhir berupa jawaban siswa tanpa memantau proses belajar mereka. Misalnya, dalam pembelajaran akhlak mulia, siswa hanya dinilai berdasarkan tes tertulis yang mengukur hafalan definisi dan contoh akhlak, tanpa ada penilaian terhadap proses diskusi, refleksi, atau penerapan nilai akhlak dalam perilaku sehari-hari. Akibatnya, banyak siswa yang mendapatkan nilai tinggi pada tes sumatif tetapi kurang memahami penerapan akhlak mulia secara praktis, dan siswa yang kesulitan tidak mendapat bimbingan yang memadai selama proses pembelajaran.

 

Gap (Kesenjangan):

Terdapat kesenjangan antara kondisi ideal dan realitas. Penilaian formatif yang seharusnya menjadi alat untuk memahami kebutuhan belajar siswa, seperti kemampuan berpikir kritis atau penerapan nilai akhlak, tidak dilakukan. Guru tidak menggunakan teknik seperti observasi, jurnal refleksi, atau diskusi kelompok untuk memantau proses belajar. Hal ini menyebabkan rendahnya keterlibatan siswa, kurangnya motivasi, dan kesulitan dalam menginternalisasi materi. Siswa yang lambat memahami materi juga tidak terdeteksi sejak awal, sehingga mereka semakin tertinggal.

 

2.         Mendiskripsikan Upaya Penyelesaian Yang Sesuai Secara Strategis Dan Efektif

Untuk mengatasi masalah tersebut, saya merancang strategi penyelesaian yang mencakup tiga aspek berikut:

 

Praktis (Dapat Digunakan):

Saya menerapkan pendekatan penilaian formatif melalui penggunaan Lembar Kerja Peserta Didik (LKPD) berbasis proyek sederhana. Dalam pembelajaran akhlak mulia, siswa diminta membuat jurnal refleksi mingguan tentang penerapan akhlak mulia dalam kehidupan sehari-hari, seperti sikap jujur atau tolong-menolong. LKPD ini dirancang dengan panduan pertanyaan reflektif yang mudah dipahami, seperti “Apa tindakan akhlak mulia yang kamu lakukan minggu ini?” dan “Apa tantangan yang kamu hadapi?”. Selain itu, saya mengadakan sesi diskusi kelompok kecil setiap dua minggu untuk memantau pemahaman siswa.

 

Rasional dan Sesuai dengan Masalah:

Strategi ini rasional karena penilaian formatif memungkinkan saya untuk memantau proses belajar siswa secara berkelanjutan, mengidentifikasi kesulitan mereka, dan memberikan umpan balik yang konstruktif. Jurnal refleksi membantu siswa mengaitkan materi dengan pengalaman nyata, sementara diskusi kelompok meningkatkan keterlibatan dan pemahaman kolektif. Pendekatan ini langsung menangani masalah kurangnya penilaian proses dan rendahnya internalisasi nilai akhlak.

 

Relevan dengan Strategi Pembelajaran:

Saya menggunakan strategi pembelajaran berbasis masalah (Problem-Based Learning) yang relevan dengan penilaian formatif. Siswa diminta menganalisis studi kasus sederhana tentang situasi akhlak di kehidupan sehari-hari, seperti konflik antarteman, dan mendiskusikan solusi berdasarkan nilai akhlak mulia. Penilaian formatif dilakukan melalui observasi selama diskusi, penilaian LKPD, dan umpan balik lisan, yang selaras dengan tujuan pembelajaran untuk mengembangkan pemahaman mendalam dan keterampilan praktis.

 

3.         Mendiskripsikan Hasil Dari Upaya/Tindakannya Secara Rinci Dan Jelas

Bentuk Keberhasilan:

Setelah menerapkan penilaian formatif, terjadi peningkatan signifikan dalam keterlibatan dan pemahaman siswa. Siswa menjadi lebih aktif dalam diskusi kelompok, dengan 80% siswa di kelas X (30 dari 38 siswa) berpartisipasi secara aktif dibandingkan sebelumnya hanya 30% (12 siswa). Jurnal refleksi menunjukkan bahwa 85% siswa mampu mengaitkan materi akhlak mulia dengan pengalaman pribadi, seperti membantu teman atau mengakui kesalahan dengan jujur.

 

Bukti Pendukung atau Perubahan yang Terjadi:

Bukti keberhasilan terlihat dari analisis LKPD, yang menunjukkan peningkatan kemampuan siswa dalam merumuskan refleksi dengan bahasa yang lebih terstruktur dan mendalam dibandingkan minggu pertama. Selain itu, hasil observasi selama diskusi kelompok menunjukkan bahwa siswa yang sebelumnya pasif mulai berani mengemukakan pendapat. Umpan balik dari siswa juga mengindikasikan bahwa mereka merasa lebih termotivasi karena merasa diperhatikan selama proses belajar. Tes sumatif akhir bab menunjukkan peningkatan rata-rata nilai kelas dari 75 menjadi 82, dengan distribusi nilai yang lebih merata.

 

Masuk Akal dan Sesuai dengan Masalah:

Keberhasilan ini logis karena penilaian formatif memungkinkan intervensi dini terhadap kesulitan siswa, seperti kurangnya pemahaman atau rendahnya motivasi. Pendekatan berbasis masalah dan refleksi mendukung internalisasi nilai akhlak, yang sebelumnya tidak tercapai hanya dengan penilaian sumatif. Hasil ini sesuai dengan masalah awal, yaitu kurangnya fokus pada proses pembelajaran.

 

4.         Mendiskripsikan pengalaman berharga yang bisa dipetik dari masalah/ kasus yang dihadapi

Cara Penyelesaian Masalah melalui Pengembangan atau Penggunaan:

Pengalaman ini mengajarkan saya pentingnya merancang penilaian formatif yang terintegrasi dengan strategi pembelajaran. Penggunaan LKPD dan diskusi kelompok sebagai alat penilaian formatif ternyata efektif untuk memantau perkembangan siswa secara real-time dan memberikan umpan balik yang relevan. Pendekatan ini juga meningkatkan keterlibatan siswa dan membantu mereka mengaitkan teori dengan praktik.

 

Antisipasi Masalah Serupa (Terhindar atau Tidak Terulang):

Untuk mencegah masalah serupa di masa depan, saya akan memastikan bahwa setiap rencana pembelajaran mencakup penilaian formatif sebagai komponen utama. Saya juga akan melatih siswa untuk terbiasa dengan refleksi diri melalui jurnal atau diskusi terarah sejak awal semester. Selain itu, saya akan menggunakan variasi alat penilaian, seperti rubrik observasi atau kuis formatif interaktif, untuk mendeteksi kesulitan siswa lebih dini.

 

Peningkatan Kualitas Penanganan Masalah Belajar:

Pengalaman ini meningkatkan kemampuan saya dalam mengelola dinamika kelas yang beragam. Saya belajar bahwa penilaian formatif tidak hanya tentang mengevaluasi siswa, tetapi juga tentang memahami kebutuhan mereka dan menyesuaikan strategi pengajaran. Dengan pendekatan ini, saya dapat menciptakan pembelajaran yang lebih inklusif dan mendukung perkembangan holistik siswa, baik dari aspek kognitif maupun afektif.

Posting Komentar untuk "Studi Kasus Masalah Penilaian (Guru Hanya Fokus Pada Penilaian Hasil (Sumatif), Bukan Proses (Formatif)"